Senin, 30 Maret 2009

Laporan tentang Penciptaan dan Evolusi oleh Panitia Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, Sidang Parlemen Dewan Eropa adalah Bukti Kepanikan Se

Laporan tentang Penciptaan dan Evolusi oleh Panitia Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, Sidang Parlemen Dewan Eropa adalah Bukti Kepanikan Serius di Kalangan Materialis

Kedatangan karya besar Harun Yahya “Atlas Penciptaan” di Eropa telah memunculkan kepanikan besar di kalangan kaum materialis dan Darwinis di seantero benua itu. Mereka berkata bahwa Atlas Penciptaan, yang mereka katakan tidak memiliki kemiripan dengan karya mana pun yang menentang evolusi yang mereka saksikan sebelumnya, adalah ancaman yang jauh lebih besar dari sudut pandang sistem pemikiran mereka sendiri dibandingkan seluruh karya anti-Darwinis lain hingga kini; sedemikian hingga mereka bahkan benar-benar berupaya melarang buku tersebut.

Tidak ada keraguan bahwa ketakutan ini adalah bukti terpenting tentang kebenaran dan nilai penting informasi dalam Atlas tersebut. Penemuan-penemuan ilmiah dalam buku itu, yang meruntuhkan evolusi, telah menyadarkan banyak orang Eropa bahwa bertahun-tahun mereka telah dibohongi. Misalnya, sebuah jajak pendapat baru-baru ini oleh Science Actualités di Prancis menyingkapkan bahwa 92% orang tidak yakin bahwa manusia muncul menjadi ada melalui evolusi, sedangkan hanya 5% percaya evolusi.

Masyarakat Eropa, yang telah mulai sadar bahwa evolusi adalah dongeng yang disebabkan keterbelakangan abad ke-19, kini telah menyaksikan, dengan bukti melimpah yang mendukung, bahwa Penciptaan telah dibuktikan. Awal pencerahan pemikiran di Eropa ini telah menimbulkan kegelisahan mendalam di kalangan kelompok materialis, ateis dan Darwinis. Salah satu isyarat terakhir dari kegelisahan ini adalah laporan yang disusun Panitia Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, Sidang Parlemen Dewan Eropa. Dokumen ini, yang berjudul “The Dangers of Creationism in Education“ (Bahaya Paham Penciptaan dalam Pendidikan), disusun oleh penganut paham sosialis asal Prancis Guy Lengagne. Keputusasaan mereka di hadapan bukti bahwa evolusi tidaklah ilmiah jelas terlihat hampir di setiap baris laporan itu.

(Petikan langsung dari laporan itu dikutip di bawah ini. Sudah pasti Allah dan kaum beriman terbebas dari pernyataan mana pun di dalamnya yang tidak memperhatikan penghargaan dan penghormatan semestinya.)

1- Panitia tersebut memaparkan bagaimana keyakinan terhadap evolusi telah menurun dan semakin banyak orang menerima fakta Penciptaan di Eropa di tahun-tahun belakangan:

Butir 2

… Kini teori-teori penganut paham penciptaan cenderung merambah Eropa dan penyebarannya berpengaruh pada sejumlah besar negara anggota Dewan Eropa.



2- Alasan upaya mempertahankan Darwinisme agar tetap hidup adalah dukungan yang dianggap ilmiah yang diberikannya bagi paham materialisme. Keruntuhan Darwinisme bermakna hilangnya satu dari landasan-landasan utama paham materialisme dan ateisme. Laporan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana pengajaran Penciptaan telah melemahkan cara pandang, dengan kata lain paham materialisme, “yang dengan sabar telah dibangun” selama bertahun-tahun:

Butir 5


Kita sedang menyaksikan tumbuhnya pola pemikiran, yang lebih baik untuk menanamkan ajaran agama, yang sedang menyerang bagian paling inti dari pengetahuan yang dengan sabar telah kita bangun tentang alam kehidupan, evolusi, asal usul kita dan kedudukan kita di alam semesta.


3- Ada kekhawatiran nyata dalam laporan tersebut bahwa orang-orang muda mulai menyaksikan kebenaran. Apa yang diistilahkan sebagai “kebingungan pemikiran” sesungguhnya adalah kewaspadaan dalam berpikir. Akal yang telah dilumpuhkan oleh propaganda materialis, ditipu oleh kebohongan-kebohongan evolusionis, dan diajari berpikir hanya dalam satu arah, kini mulai berpikir tanpa prasangka dan menyaksikan bahwa evolusi tidaklah didukung oleh ilmu pengetahuan:

Butir 6

Terdapat bahaya nyata berupa KEBINGUNGAN SERIUS yang sedang ditanamkan ke dalam benak anak-anak kita… [penekanan ditambahkan]



4- Isyarat bahwa orang-orang mulai memiliki keraguan tentang teori evolusi, yang telah ditampilkan sebagai fakta tak terbantahkan selama 150 tahun terakhir, adalah satu di antara tanda-tanda terpenting keruntuhan evolusi. Ketika mereka yang merasakan kecurigaan yang beralasan seperti itu mulai mengkaji dan menyelidiki masalah tersebut sedikit lebih dalam mereka akan menyadari betapa mereka bertahun-tahun telah dibohongi oleh dongeng evolusi. Itulah penyebab bunyi tanda bahaya para Darwinis:

Butir 9

… Melalui sarana-sarana ini para pendukung penciptaan … menanamkan keraguan dan kebingungan di dalam benak mereka.



5- Laporan itu menyatakan bahwa ini adalah kali pertama peradaban materialis Eropa telah menghadapi ancaman sedemikian serius. Ini, selanjutnya, adalah bukti ketepatan dan kekuatan informasi yang terkandung dalam buku Atlas Penciptaan. Informasi dalam buku tersebut telah mendorong kaum materialis mengambil tindakan pencegahan dalam berbagai bentuk untuk kali pertama:

Butir 17

Penelitian tentang pengaruh menguat para pendukung penciptaan menunjukkan bahwa silang-pendapat antara paham penciptaan dan evolusi melebar jauh melebihi perseteruan pemikiran. Jika kita tidak hati-hati, nilai-nilai yang merupakan hal paling hakiki dari Dewan Eropa akan berada dalam ancaman langsung para fundamentalis pendukung penciptaan. Adalah bagian dari peran anggota parlemen Dewan Eropa untuk bertindak sebelum terlalu terlambat.



6- Rendahnya jumlah penganut Darwinisme di negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat dan Australia adalah kenyataan yang membuat para Darwinis sangat cemas:

Butir 37

Namun begitu, paham penciptaan (atau paham penciptaan baru) masih sangat mapan di negara-negara berbahasa Inggris, khususnya di Amerika Serikat dan Australia. … Di bulan Juli 2005, Pew Research Center mengadakan jajak pendapat yang menunjukkan bahwa 64% warga Amerika memilih pengajaran perancangan cerdas disamping teori evolusi dan bahwa 38% mendukung penghapusan sama sekali pengajaran evolusi di sekolah-sekolah milik umum. ... Kini, 20 dari 50 negara bagian Amerika sedang menghadapi kemungkinan penyesuaian kurikulum sekolahnya yang memihak perancangan cerdas.



7- Namun, penyebab sesungguhnya ketakutan di kalangan materialis adalah kenyataan bahwa peradaban materialis Eropa yang didasarkan pada Darwinisme sebentar lagi akan lenyap. Di mata kaum materialis, karya-karya yang menyingkap ketidakabsahan paham materialisme merupakan “ancaman” paling serius terhadap rencana-rencana Eropa.

Butir 38

Banyak orang berpikir bahwa fenomena ini hanya menimpa Amerika Serikat dan bahwa, kalaulah tidak mungkin berdiam diri terhadap apa yang sedang terjadi di sisi lain Samudera Atlantik, bukanlah tugas Dewan Eropa untuk menangani masalah ini. Namun tidaklah demikian. Sebaliknya, tampaknya sangat mendesak bagi kita untuk mengambil tindakan pencegahan semestinya di 47 negara anggota kita.



8- Satu di antara hal yang secara khusus dicermati para Darwinis adalah kegiatan intelektual yang dilakukan kalangan Muslim sejak tahun 1980-an yang secara intelektual menghancurkan Darwinisme.

Butir 39

Di samping paham penciptaan Kristen kini terdapat paham penciptaan Muslim: pembuktian paham penciptaan dari sumber Kristen diterima luas di kalangan Muslim seiring dengan kebangkitan pergerakan Islam di awal tahun 1980-an.



9- Buku Adnan Oktar “Atlas Penciptaan” secara khusus dianggap berbahaya bagi Darwinisme. Buku ini telah sampai di negara-negara Eropa dan telah menimbulkan kepanikan serius di kalangan Darwinis:

Butir 40

… Alhasil, kita telah menyaksikan beberapa upaya dari berbagai pergerakan ini di benua Eropa-Asia di beberapa tahun terakhir, dengan sekolah-sekolah terlihat sebagai sasaran utama. Awal 2007 menyaksikan serangan penganut penciptaan Turki Harun Yahya, yang mengirimkan karya terakhir dan sangat-mewahnya, berjudul “Atlas Penciptaan”, yang menyatakan kecaman terhadap kebohongan teori evolusi, ke sejumlah besar sekolah Prancis, Belgia, Spanyol dan Swiss....



10- Dampak buku Atlas Penciptaan di Eropa dan karya-karya lain Adnan Oktar yang melemahkan Darwinisme di Turki dipaparkan di paragraf-paragraf lain laporan itu:

Butir 54

Dai Islam Turki Harun Yahya, yang nama aslinya Adnan Oktar, adalah satu di antara tokoh yang paling melambangkan gerakan ini. Ia berusia sekitar lima puluh tahun dan telah menerbitkan karya-karya tentang penciptaan atau agama selama sekitar dua puluh tahun. Ia juga memiliki rumah penerbitan sendiri, Global, yang berkantor pusat di Istanbul. Pada tahun 1991, Oktar mendirkan yayasan ilmu pengetahuan dan penelitian Bilim Arastirma Vakfi (BAV). Sejak pendiriannya, BAV sangatlah giat berupaya agar paparan apa pun tentang evolusi dihilangkan dari pendidikan Turki. Yayasan ini juga menyelenggarakan banyak konferensi tentang paham penciptaan di kota-kota kecil dan besar penting di Turki. …

Butir 55

Karya terkini Harun Yahya muncul di bulan Desember 2006 dan diberi judul “Atlas Penciptaan”. Ini adalah buku besar dan jilid pertama dari serangkaian tujuh jilid. Buku ini berupaya menyanggah Darwinisme dan teori evolusi dalam 772 halaman penuh gambar. Kesimpulannya jelas: “penciptaan adalah fakta” and “evolusi adalah penipuan”. Lebih jauh, sang pengarang mengecam tajam “kaitan rahasia antara Darwinisme dan ideologi-ideologi penumpah darah, seperti fasisme dan komunisme”. Di awal tahun 2007 Yahya melancarkan serangan dengan tujuan penyebarluasan besar-besaran karyanya di Eropa dan seluruh dunia.

Di Prancis:

Butir 57

Serangan Harun Yahya: Di awal 2007, penganut penciptaan Turki Harun Yahya mengirimkan karyanya yang berjudul “Atlas Penciptaan” ke sejumlah besar sekolah dan pusat informasi Prancis. …


11- Tak punya sanggahan ilmiah apa pun terhadap isi buku Atlas Penciptaan, para Darwinis menggunakan watak Abad Pertengahan dan berupaya melarang buku tersebut. Namun sesungguhnya pemikiran tidak dapat dihentikan dengan cara melarangnya. Pada kenyataannya, yang menyebabkan kepanikan itu di kalangan kaum materialis Eropa adalah karena mereka telah menyaksikan keruntuhan evolusi yang tak dapat dicegah.

Butir 57

… Sebagai tanggapan, Menteri Pendidikan, Gilles de Robien, menyeru para kepala kantor pendidikan agar memastikan bahwa buku ini "yang tidak sesuai dengan isi kurikulum yang dirumuskan oleh Kementerian, tidak tersedia di pusat-pusat informasi di sekolah”. Hervé LeGuyader, Profesor Biologi Evolusi di Universitas Paris VI, ditugaskan oleh Inspektorat Pendidikan Nasional Umum untuk membuat telaah rinci terhadap atlas ini. …



12- Ini adalah kali pertama mereka mendapati sebuah buku yang sedemikian telak meruntuhkan evolusi yang dipenuhi bukti-bukti yang mendukung, hingga mengguncang para Darwinis. Kenyataan bahwa informasi yang dikandung dalam buku tersebut tak terbantahkan telah mengejutkan para Darwinis, yang mengakuinya sendiri:

Butir 57

… Ia [Hervé LeGuyader]menganggap buku tersebut “JAUH LEBIH BERBAHAYA daripada upaya-upaya penganut penciptaan sebelumnya, yang seringkali berasal dari Inggris”. Ia yakin bahwa ...cara yang digunakan sang pengarang dapat “TERBUKTI SANGAT MENGENA untuk masyarakat awam. … [penekanan ditambahkan]



13- Keadaannya sama di banyak negara Eropa. Atlas Penciptaan telah sampai di banyak negara. Dihadapkan pada bukti nyata dalam Atlas Penciptaan dan tidak mampu memberikan sanggahan ilmiah apa pun, kaum Darwinis berupaya agar buku tersebut dilarang.

Butir 59

Kegiatan Harun Yahya di Swiss berbahasa Prancis: Di bulan Maret 2007, sejumlah besar sekolah di Swiss berbahasa Prancis juga menerima karya Harun Yahya “Atlas Penciptaan”. …

Butir 63

Upaya pendukung penciptaan menyusup ke sekolah-sekolah Belgia: Setelah Prancis, dan bersamaan dengan serangan di Swiss, Harun Yahya melancarkan penyebarluasan Atlas Penciptaannya di Belgia di bulan Maret 2007. Dalam surat edaran tertanggal 22 Maret 2007, Marie Arena, Menteri urusan pendidikan wajib dan pembangunan sosial, memperingatkan “seluruh pegawai pendidikan tentang nilai-nilai yang dianjurkan oleh buku ini” dan kemudian berkata bahwa ia “mengandalkan setiap orang agar WASPADA [...] untuk memastikan bahwa [buku] itu bagaimana pun tidak (boleh) menjadi satu sarana pendidikan bagi murid-murid” [penekanan ditambahkan]

Butir 74

Sebulan setelah Prancis, Atlas Penciptaan Harun Yahya diterima oleh sejumlah profesor di fakultas biologi Universitas Barcelona dan oleh perpustakaan universitas itu.



14- Bagian akhir laporan itu sekali lagi menegaskan bagaimana peradaban materialis Eropa berada dalam ancaman besar. Isyarat bagaimana Darwinisme didukung karena alasan ideologis terlihat jelas. Apa yang dimaksud laporan tersebut dengan kata-kata “bertindak sebelum hal itu terlalu terlambat ” adalah kekhawatiran atas kehancuran mutlak Darwinisme, dan yang berarti pula terhapusnya materialisme secara menyeluruh.

Butir 104

Pengkajian terperinci tentang PENGARUH MENGUAT PARA PENDUKUNG PENCIPTAAN menunjukkan bahwa perbincangan antara paham penciptaan dan paham evolusi melebar jauh melebihi perseteruan pemikiran. Jika kita tidak hati-hati, nilai-nilai yang merupakan hal paling hakiki dari Dewan Eropa akan berada dalam bahaya ancaman langsung oleh para fundamentalis pendukung penciptaan. Adalah bagian dari peran anggota parlemen Dewan Eropa untuk bertindak sebelum terlalu terlambat. [penekanan ditambahkan]

Eropa Telah Menyatakan Perang terhadap Islam dan Al Qur’an

Menyusul keputusan Dewan Eropa baru-baru ini tentang larangan pengajaran fakta Penciptaan di sekolah-sekolah, pokok persoalan kedua yang bergulir dalam rencana adalah putusan Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) pada tanggal 9 Oktober bahwa pelajaran agama di sekolah-sekolah Turki adalah pelanggaran terhadap hak pendidikan. Dengan putusan ini, beragam pengubahan perlu dilakukan terhadap cara pengajaran agama di sekolah-sekolah Turki dan, menurut ECHR, bahkan pelajaran agama dengan cara bagaimanapun perlu dicegah.

Pada kenyataannya, pengubahan yang dimaksudkan di sini tidak memiliki tujuan selain menghapuskan sama sekali pendidikan agama, untuk memalingkan generasi muda dari keimanan kepada Allah (Tuhan) dan menanamkan pola pikir materialis dalam diri mereka. Keputusan melarang pengajaran Paham Penciptaan di sekolah-sekolah berdasarkan keputusan Dewan Eropa yang diambil di awal Oktober memiliki tujuan yang sama. Kenyataan bahwa laporan yang dimaksud tersebut menetapkan bahwa hanya teori evolusi yang seharusnya diizinkan di kurikulum dengan jelas menyingkap kekhawatiran bahwa para siswa yang belajar tentang fakta Penciptaan tidak akan tumbuh menjadi materialis. Inilah mengapa Paham Penciptaan telah digambarkan sebagai ancaman bagi Eropa dan keputusan di atas telah diambil. Keadaan yang sama berlaku pada pelajaran agama yang saat ini diberikan di Turki. Khawatir terhadap para siswa yang belajar tentang Islam dan meninggalkan pemikiran materialisme, Eropa saat ini telah menganjurkan dihentikannya pelajaran agama di sekolah-sekolah dengan beragam alasan. Upaya Eropa adalah jelas: menyatakan perang terhadap iman kepada Allah dan Islam.

Tidak ada keraguan bahwa alasan bagi semua ini adalah pembongkaran rahasia ke seluruh dunia bahwa Darwinisme, dan materialisme pendukungnya, keduanya adalah penipuan. Kalangan Darwinis dan materialis telah dilanda ketakutan di hadapan karya Harun Yahya Atlas Penciptaan, yang menunjukkan bahwa makhluk-makhluk hidup masa kini sama persis dengan nenek moyang mereka yang hidup di masa lalu. Mereka sadar bahwa mereka takkan mampu lagi menyebarluaskan penipuan itu sebagaimana telah mereka lakukan selama 150 tahun terakhir. Dunia kini telah menyaksikan bahwa teori evolusi Darwin adalah kebohongan yang sangat buruk. Filsafat materialis, yang mendorong ketiadaan agama, kini sedang berada keadaan sekarat dan di abad ke-21 umat manusia akan terbebaskan dari penipuan semacam itu, insya Allah, dan kembali pada tujuan hakiki penciptaannya. Takut dan terkejut oleh kenyataan ini, kalangan Darwinis-materialis kini tengah berupaya mengambil tindak pencegahan melawan perkembangan luar biasa ini. Tapi apa yang tamat, adalah tamat dan seluruh dunia kini tahu tentang penipuan Darwinis. Siswa sekolah kini sedang melancarkan serangan mereka sendiri melawan Darwinisme dan menolak mempelajari penipuan ini.

Apa yang diinginkan kalangan Darwinis-materialis adalah membangun masyarakat tanpa agama, tanpa sedikit pun keimanan kepada Allah. Namun kenyataannya, masyarakat tanpa agama akan semakin mendorong kemerosotan akhlak, meningkatkan peperangan, pembantaian dan pemberontakan yang mengiringi ketiadaan agama, dan menimpakan bencana bagi seluruh umat manusia. Apa yang perlu dilakukan adalah mendorong orang, khususnya kaum muda, untuk mengikuti nilai-nilai ajaran agama daripada memalingkan mereka dari agama dan menganjurkan filsafat materialis.

Alasan ketakutan yang dialami kalangan Darwinis Eropa sangatlah jelas: Mereka telah menyadari bahwa Penciptaan adalah kenyataan satu-satunya, yang kini telah diketahui seluruh dunia. Mereka membayangkan bahwa mereka mampu menghentikan perkembangan ini dengan melarang pelajaran agama dan menghilangkan Paham Penciptaan dari kurikulum. Mereka yakin mereka akan menang dalam peperangan yang mereka lancarkan melawan iman kepada Allah. (Sudah pasti Allah tak terkalahkan.) Mereka ingin yakin bahwa Darwinisme akan dianut dan diterima, meskipun mereka sangat tahu bahwa ini tidak akan pernah terjadi. Agama keliru atau kebohongan yang dibuat melawan iman kepada Allah tidak memiliki jalan bertahan hidup. Allah Yang Mahakuasa mengungkapkan hal senada dalam ayat-ayat-Nya:

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al Anbiyaa’, 21:18)

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS. Ar Ra’d, 13:17)

Dengan keruntuhan pasti Darwinisme, pengaruh Darwinis banyak melemah dibandingkan sebelumnya. Berkembangnya nilai-nilai ajaran Islam adalah janji Allah dan akan, dengan izin-Nya, menjadi kenyataan. Isyarat-isyarat ini dapat disaksikan di seluruh dunia. Agama hak-Nya, dengan kehendak-Nya, telah menang. Kaum Darwinis tidak lagi mampu menyesatkan manusia. Permusuhan Eropa terhadap Islam tidak akan mengubah apa pun. Dengan izin Allah, sebagaimana halnya dengan setiap pemikiran menyimpang yang pernah melawan nilai-nilai ajaran Islam, serangan balik yang terkini ini, juga, hanya akan semakin menguatkan agama Islam.

Dawkins Menolak Debat Melawan Para Pendukung Penciptaan, Karena Dia Tidak Memiliki Bantahan!

Richard Dawkins telah menanggapi permintaan kami untuk debat langsung: “SAYA TELAH BERSUMPAH UNTUK TIDAK BERDEBAT,” katanya. Apa arti ini sesunguhnya adalah, “Saya telah dikalahkan dalam masalah Darwinisme. Saya tidak memiliki niat berdebat dengan siapa pun dan dipermalukan."

Tapi sama sekali tidak jelas dengan apa ia bersumpah. Ia jelas tidak bersumpah dengan nama Allah, sebab ia berkata ia tidak mempercayai-Nya. Tidak diragukan ia akan kalah dalam debat apa pun. Juga jelas bahwa ia akan terus menyesatkan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang Darwinisme. Namun cepat atau lambat, orang-orang ini akan menyadari bahwa Darwinisme adalah kebohongan ketika mereka mengunjungi situs Harun Yahya dan akhirnya menyaksikan kebenaran. Dan mereka akan terus melakukan hal demikian di masa mendatang, dengan izin Allah.

Selama 150 tahun terakhir para pendukung Darwin telah benar-benar ketakutan akan satu hal: terungkapnya kebohongan-kebohongan mereka! Mereka berupaya dengan mengerahkan segenap cara yang mereka punya untuk mencegah tersingkapnya hakikat penipuan teori evolusi, yang mati-matian mereka pertahankan agar tetap hidup sebagai ideologi tak tergoyahkan, sebuah agama, sejak masa Darwin. Demi mempertahankan kebohongan ini mereka menempuh jalan pemalsuan, memajang fosil-fosil palsu di museum-museum, bergegas menyembunyikan seluruh fosil-fosil yang tergali (karena fosil-fosil ini menentang teori evolusi), dan melakukan penghasutan untuk menjawab seluruh bahasan-bahasan yang banyak itu, yang tidak dapat dijelaskan teori evolusi. Untuk mempertahankan kebohongan ini, mereka telah memberi semacam kekebalan terhadap teori evolusi. Sedemikian hingga evolusi telah menjadi sesuatu yang tidak boleh dipertanyakan dan ditolak di sekolah, universitas, tempat kerja, lembaga-lembaga mana pun, dan bahkan di tingkat lembaga tertinggi negara. Meskipun hanya sebuah teori, evolusi telah dijadikan hukum yang harus diketahui dan dianut semua generasi muda dan yang harus dilindungi melalui undang-undang resmi dan dimasukkan ke dalam kurikulum resmi.

Tetapi apa yang paling ditakuti para Darwinis kini telah menjadi kenyataan, dan kebohongan mereka telah tersingkap. Pemalsuan-pemalsuan Darwinis tiba-tiba terungkap melalui kegiatan-kegiatan Harun Yahya, dan khususnya melalui karyanya Atlas Penciptaan. Orang-orang telah menyadari bahwa kaum Darwinis telah berupaya menyembunyikan lebih dari 100 juta fosil, dan semua fosil ini adalah contoh-contoh makhluk hidup berbentuk lengkap sempurna dan tanpa cacat, berusia ratusan juta tahun, yang kebanyakan masih ada sekarang. Dihilangkannya mantra Darwinis memiliki dampak menggemparkan di seluruh penjuru dunia.

Dalam keaadaan inilah Richard Dawkins, salah seorang pendukung tergigih teori evolusi dan dijuluki “Anjingnya Darwin,” diundang ikut serta dalam debat terbuka. Ia ditanya apakah ia mampu atau tidak membantah bukti yang meruntuhkan Darwinisme dan bagaimana ia akan mempertahankan teori itu di hadapan bukti-bukti Penciptaan.

Namun Dawkins menolak ikut serta dalam debat apa pun! Kami menerima sebuah tanggapan dari Dawkins yang menjawab permintaan kami untuk berdebat langsung: “SAYA TELAH BERSUMPAH UNTUK TIDAK BERDEBAT.” Apa arti ini sesungguhnya adalah, “Saya telah terkalahkan dalam bahasan Darwinisme. Saya tidak punya niat mendebat siapa pun dan terendahkan.”

Sudah pasti Richard Dawkins tidak dapat turut serta dalam debat apa pun semacam itu, sebab ia akan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan terhadapnya:

* Ia tidak akan mampu menjelaskan lebih dari 100 juta fosil yang telah tergali dari bumi, yang menunjukkan keberadaan bentuk-bentuk kehidupan yang sempurna dan tanpa cela. Ia takkan dapat menjelaskan bagaimana MAKHLUK-MAKHLUK HIDUP ITU TETAP TIDAK BERUBAH SELAMA RATUSAN JUTA TAHUN dan mengapa MAKHLUK-MAKHLUK HIDUP ITU TIDAK MEMILIKI NENEK MOYANG APA PUN DENGAN CIRI-CIRI BENTUK PERALIHAN.
* Ia tidak akan mampu menjelaskan, sebagaimana ia tak mampu di masa lalu, mengapa TIDAK ADA SATU PUN BENTUK PERALIHAN di antara semua jutaan fosil yang telah tergali dari bumi.
* Dengan bersandar pada teori evolusi, ia tidak akan mampu, menjelaskan tengkorak-tengkorak fosil, berusia jutaan tahun, yang sama persis dengan harimau, kuda, gajah, kura-kura, serigala, burung, kelinci, rubah, zebra, rusa dan makhluk-makhluk hidup masa kini. Ia akan tidak mampu menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk kehidupan muncul JUTAAN TAHUN LALU DENGAN PENAMPAKAN YANG SAMA DENGAN YANG MEREKA MILIKI SEKARANG dan BAGAIMANA MEREKA TIDAK MENGALAMI PERUBAHAN SELAMA JUTAAN TAHUN.
* Ia akan harus mengakui bahwa silsilah evolusi kuda, Manusia Piltdown, Manusia Nebraska, gambar-gambar Haeckel, fosil-fosil dinosaurus dengan bulu yang direkatkan padanya, serta ngengat berbintik yang dipaku pada pokok pohon SEMUANYA ADALAH PEMALSUAN.
* Ia akan harus mengakui bahwa fosil-fosil, yang berjumlah tak lebih dari segelintir, yang diperlihatkan para Darwinis sebagai bentuk-bentuk peralihan seluruhnya telah terbantahkan secara ilmiah, BAHWA FOSIL BURUNG BERKEMAMPUAN TERBANG DENGAN BENTUK SEMPURNA YANG SEZAMAN DENGAN ARCHAEOPTERYX, yang digambarkan sebagai contoh peralihan dari darat ke udara, TELAH DITEMUKAN, BAHWA COELACANTH, yang mereka sebut sebagai contoh peralihan dari air ke darat, KINI MASIH HIDUP, dan BAHWA LUCY TELAH TERCATAT DALAM SEJARAH SEBAGAI KERA.
* Ia akan tidak memiliki jawaban atas pertanyaan MENGAPA MEREKA MENYEMBUNYIKAN fosil-fosil Zaman Kambrium, fosil-fosil hidup yang tergali setelahnya, dan akhirnya 100 juta fosil yang ada saat ini.
* Ia akan tidak memiliki tanggapan apa pun mengenai sebuah protein yang memiliki fungsi, batu bata pembentuk makhluk hidup, muncul secara kebetulan dengan angka kemungkinan 1 per 10 pangkat 950, dan dalam istilah matematika ini berarti peluang nol. Ia akan tidak mampu menjelaskan bagaimana kehidupan dapat terbentuk sebagai hasil kebetulan-kebetulan padahal tak satu pun sel tunggal dapat dibuat dalam kondisi laboratorium.
* IA AKAN TIDAK MAMPU MENJELASKAN SIAPAKAH SEBENARNYA YANG MELIHAT GAMBAR DI DALAM OTAK meskipun tidak ada cahaya di luar ataupun di dalam otak itu. TIDAK PULA IA AKAN MAMPU MENJELASKAN SIAPAKAH YANG MENDENGAR suara, pidato dan musik di dalam otak yang kedap suara. DAN IA AKAN TIDAK MEMILIKI JAWABAN ATAS PERTANYAAN SIAPAKAH YANG MERASAKAN KENIKMATAN, MENAFSIRKAN DAN BEREAKSI TERHADAP GAMBAR, MUSIK, PENGINDRAAN RABA DAN WEWANGIAN DI OTAK.

Semua kenyataan ini menjadikan benar-benar jelas mengapa Richard Dawkins enggan ikut serta dalam debat apa pun. Pernyataan-pernyataan Richard Dawkins tentang bahasan-bahasan tersebut telah ambruk dan tidak pernah mampu dijawabnya. Daripada mempermalukan diri sendiri mengenai bahasan tersebut, ia berpikir telah menemukan jalan keluar dengan mengatakan “Saya telah bersumpah untuk tidak berdebat.”

Dalam kenyataan seperti ini, pihak yang memilih jalan akhir melontarkan ungkapan hasutan karena menyebarkan kebohongan, menggunakan cara hasutan lagi dengan menyatakan bahwa pihak lawannya hanya ingin mempertontonkan diri di depan umum. Kebiasaan ini masih dianut hingga kini, dan Dawkins bersikukuh bahwa para pendukung Penciptaan mengajak debat karena alasan pamer. Tapi yang ia lupakan adalah: pemberitahuan luas kepada khalayak umum dan penyampaian yang dikehendaki tersebut TELAH TERJADI MELALUI BUKU ATLAS PENCIPTAAN. Dunia telah dikenalkan dengan 100 JUTA FOSIL. TELAH DITUNJUKKAN BAHWA INI ADALAH BUKTI-BUKTI PENCIPTAAN. Oleh karena itu menggelikan untuk bersikukuh bahwa debat kecil apa pun hanya akan melayani kepentingan publisitas. Debat tersebut penting dalam rangka menunjukkan kepada seluruh dunia, dalam perkataan Dawkins sendiri, bahwa ia keliru. Dunia telah tahu benar bahwa teori evolusi dan pernyataan-pernyataan Dawkins telah runtuh dan sama sekali tercabut.

Kebenaran menyedihkan bagi kaum Darwinis adalah bahwa bukti nyata, dengan kata lain fosil, tidak dapat diingkari. Apa yang tak pernah mereka duga sebelumnya adalah semua fosil membuktikan fakta Penciptaan dan semua fosil ini, yang disembunyikan dengan hati-hati dari pandangan masyarakat, suatu hari ditampakkan kepada dunia dan benar-benar memiliki dampak mengejutkan. Mereka telah sama sekali dibungkam oleh dampak mengguncang buku Atlas Penciptaan. Ungkapan hasutan kini sudah tidak berarti karena bukti nyata telah ditampakkan terang benderang. Itu pulalah alasan keterkejutan Dawkins. Sudah pasti tampak mustahil baginya untuk bersedia berdebat di hadapan seluruh bukti ini, yang telah disaksikan oleh seluruh dunia.

Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat

Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.

Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.

Gereja Katolik dan Perkembangan Islam

Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)

Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)

Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa

Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)

Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.

Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa

Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.

Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.

Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"

Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)

Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.

Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan

Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)

Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:

Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)

… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)

Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)

Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)

Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.

Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.

Rujukan:
1. "Europe's Muslims Worry Bishops," National Catholic Reporter, 22 Oktober 1999
2. "Muslims in Europe," The Economist, 18 Oktober 2001.
3. Time, 24 Desember 2001.

Jumat, 27 Maret 2009

BUNGA BANK

PERTANYAAN

Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.

Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu
saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi
zakat yang saya keluarkan.

Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?

JAWABAN

Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Antara lain Baqarah: 278-279)

Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap
pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan
atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.

Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya
dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun
kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang
sama-sama memikul tanggung jawab.

Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara
pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik
modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami
kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem
ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.

Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia
mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.

Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?

Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama
muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.

Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau
lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu
--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.

Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang
dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi." (HR Muslim)

Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena
harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.

Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank
untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada
jalan-jalan kebaikan.

Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa
sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga
memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian
dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari
kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini
menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab
tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan
manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat
bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering
terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah
(kaidah umum).

Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)
dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga
mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"

Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi
apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi
dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut
menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada
kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau
bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang
mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan
tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.

Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya
bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.

Riba Menurut Al-Quran

Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?

Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.

Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.

Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."165

Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166

Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.

Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.

Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...

Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.

Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.

Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).

Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.

Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.

Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.

Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.175

Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.

Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah

Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:

Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176

Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177

Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178

Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya:

"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179

Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.

Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180

Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181

'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."182

Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?

Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.

Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.

Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?

Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183 Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.

Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.

Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).

Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.

Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah itu.184

(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185

Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."186

Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."

Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.

Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?

Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.

Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).

Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.

Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan

Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).

Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.187

Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188

Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran:

"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189
Catatan kaki

164 Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat.

165 Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477.

166 Ibid.

167 Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.

168 Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60.

169 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.

170 Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971, jilid I, h. 389.

171 Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.

172 Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.

173 Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t., jilid III, h. 434.

174 Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409.

175 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid III, h. 113.

176 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.

177 Ibid, Jilid III, h. 101.

178 Ibid.

179 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.

180 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101.

181 Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114.

182 Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.

183 Rasyid Ridha, loc. cit.

184 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107.

185 Ibid.

186 Ibid.

187 Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1952, Jilid V, h. 245.

188 Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.

189 Rasyid Ridha, loc. cit.
Bahasan Riba oleh Ulama lain

Bunga Bank, Hukum Kerja di Bank oleh Yusuf Qardhawi

SIAPA YANG TIDAK WAJIB MEMPELAJARI AQIDAH KHUSUSNYA TENTANG QADAR

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Siapakah yang tidak wajib mempelajari Aqidah, khususnya Qadar karena dikhawatirkan salah ?".
Jawaban.

Masalah ini sebagaimana masalah penting lainnya harus dipahami oleh manusia untuk agama dan dunianya. Dia harus mendalami dam memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar mampu memahami dan meyakininya sehingga permasalahannya menjadi sangat jelas. Karena seseorang tidak boleh meragukan sedikitpun tentang masalah-masalah penting seperti ini. Adapun masalah yang tidak merusak agama bila ditunda dan tidak dikhawatirkan menjadi sebab berpalingnya seseorang (dari agama), maka boleh ditunda selama masih ada hal yang lebih penting daripadanya. Masalah Qadar adalah masalah yang wajib dipahami oleh setiap hamba (Allah) sehingga dapat menghantarkannya pada keyakinan yang mendalam. Sebenarnya masalah tersebut tidaklah sulit, segala puji hanya bagi Allah. Hal yang memberatkan pelajaran aqidah bagi sebagian orang adalah karena mereka, dengan sangat disayangkan lebih mendahulukan sisi "bagaimana" dari pada "mengapa". Sebenarnya manusia dituntut untuk menggunakan dua kata tanya secara berurutan, yaitu "mengapa" baru disusul dengan "bagaimana". Mengapa kamu melakukan itu ? (Jawabnya), ini adalah keikhlasan. Bagaimana cara kamu melaksanakan itu ? (Jawabnya) dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kebanyakan orang sekarang sibuk merealisasikan jawaban pertanyaan "bagaimana" dan lalai dari jawaban pertanyaan "mengapa". Oleh karena itu, sebagaimana anda lihat sendiri, dari sisi ikhlas mereka tidak mau banyak berupaya, sedang dari sisi ketaatan memiliki semangat yang tinggi. Maka manusia sekarang lebih memperhatikan sisi ini (sisi awal) dan melalaikan sisi yang lain yang lebih penting, yaitu sisi aqidah, keikhlasan dan tauhid. Oleh karena itu, anda banyak menemukan sebagian besar orang yang bertanya tentang masalah duniawi yang sangat amat remeh dan hatinya tertutup oleh dunia, melalaikan Allah secara total dalam praktek jual beli kendaraan dan berpakaian.

Terkadang sebagian mereka menyembah/menjadi budak dunia sementara dia tidak menyadarinya dan terkadang dengan tidak sadar menyekutukan Allah dengan dunia, karena dengan sangat disesalkan, sisi tauhid dan aqidah sudah tidak diperhatikan lagi, baik di kalangan masyarakat awam maupun para penuntut ilmu. Ini adalah masalah yang berbahaya. Sebaliknya memperhatikan perkara aqidah saja tanpa mengamalkan apa yang telah disyari'atkan (Allah) sebagai benteng dan pagar (dari perbuatan jahat) juga sangat keliru. Karena kita telah mendengar dari berbagai siaran (TV dan radio) dan membaca dari media massa adanya upaya penyederhanaan pemahaman bahwa agama adalah aqidah yang toleran dan beberapa ungkapan serupa yang lain. Pada hakikatnya, hal ini sangat dikhawatirkan menjadi pintu bagi orang yang ingin menghalalkan yang haram dengan alasan bahwa aqidah membenarkan, akan tetapi harus diperhatikan dua sekaligus agar terjadi pertanyaan "kenapa" dan "bagaimana".
Ringkasnya.

Setiap orang harus mempelajari ilmu tahuhid dan aqidah agar mengetahui Rabb yang dia sembah, mengetahui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengetahui tentang hukum-hukum kauniyah-Nya (ketentuan-Nya tehadap alam) dan hukum-hukum syari'ah-Nya, mengetahui kebijakan-Nya dan rahasia syari'ah dan ciptaan-Nya, sehingga dia tidak tersesat dan menyesatkan orang lain. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang paling agung karena agungnya obyek yang dibicarakan di dalamnya (Allah). Oleh karena itu, ilmu tersebut disebut oleh para ulama' dengan "Fiqh Akbar". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa dikehendaki Allah menjadi baik, maka Dia memahamkannya tentang agama".

Ilmu yang paling pertama dan utama dalam agama adalah ilmu tauhid dan aqidah. Akan tetapi seseorang juga harus memperhatikan bagaimana cara dan dari mana sumber memperolehnya. Maka seharusnya dia mengambil ilmu tersebut dari sumber yang murni serta selamat dari berbagai syubhat, agar dia bisa menolak syubhat tersebut dan menjelaskan aqidah murni yang telah dia peroleh sebelumnya. Hendaklah sumber yang dipelajari adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu pendapat para Sahabat, kemudian pendapat para imam sesudahnya yakni tabi'in maupun pengikutnya dan kemudian pendapat para ulama' yang dapat dipertanggung jawabkan ilmu dan kejujurannya, khususnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Al-Qayim, semoga rahmat dan ridha (Allah) terlimpah kepada mereka berdua, seluruh umat Islam dan para imam mereka.
PERBEDAAN QADHA' DAN QADAR
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbedaan antara Qadha' dan Qadar?"
Jawaban.

Para ulama' berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha' adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.

Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha'. Masalah ini (Qadha') banyak sekali disebut dalam Al-Qur'an, seperti firman Allah.
"Artinya : Sesuatu itu telah diqadha" [Yusuf : 41]

Dan firman-Nya.
"Artinya : Allah mengqadha' dengan benar" [Ghafir : 20]

Dan ayat-ayat lain yang serupa. Maka Qadar adalah ketentuan Allah terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, sedangkan Qadha' merupakan pelaksanaan Qadar ketika terjadi. Sebagian Ulama' mengatakan bahwa kedua istilah tersebut mempunyai satu makna.

Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha'), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama. Wallahu 'alam.
ADAKAH KEKHUSUSAN TENTANG QADHA' DAN QADHAR ?
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah di antara Qadha' dan Qadar terdapat keumuman dan kekhususan ?"
Jawaban

Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"

Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha') maka memuat makna Qadha'. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha' bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha'.
ADAKAH TINGKAT KEIMANAN KEPADA QADHA' DAN QADAR
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin -Semoga Allah meninggikan derajatnya di antara orang-orang yang mendapat petunjuk- ditanya : "Tentang Iman kepada Qadha' dan Qadar?"
Jawaban

Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah al-Hamd, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sunggung telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]

Dia juga berfirman.
"Artinya : Bagi-Nya kunci-kunci segala sesuatu yang gaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang di darat dan di laut dan tidak ada sehelai daunpun yang gugur kecuali Dia mengetahui-Nya dan tidak ada satu benihpun di kegelapan bumi dan tak ada sesuatupun yang kering dan basah kecuali ada di dalam kitab yang jelas" [Al-An'am : 59]

Dia juga berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dan Aku mengetahui apa yang dibbisikkan hatinya" [Qaf : 16]

Dia juga berfirman.
''Artinya : Allah mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 283]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Karena kebalikan ilmu adalah mungkin bodoh atau alpa dan keduanya berupa aib (cacat). Allah terlah berfirman tentang Nabi Musa ketika dia ditanya oleh Fir'aun.
"Artinya : Maka apa saja yang telah terjadi di abad-abad terdahulu, dia (Musa) menjawab : Pengetahuan tentang itu di sisi Rabb-ku di dalam kitab yang Rabb-ku tidak akan salah dan alpa ( di dalamnya)" [Thaha : 51-51]

Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman. "Sesungguhnya itu semua berada dalam kitab", artinya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz). (Sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah). Kemudian penulisan tersebut terkadang bersifat rinci. Maka janin yang ada di perut ibunya bila melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus malaikat kepadanya dan mengutusnya membawa empat kalimat, yaitu menulis rizki, ajal, perbuatan, celaka atau bahagia, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan di tulis juga di dalam Qadar apa saja yang terjadi dalam tahun itu.

Sebagaimana Allah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menurunkan pada malam yang berkah, sesungguhnya Aku memberi peringatan di dalamnya tentang perbedaan sesuatu yang mengandung hikmah, sebagai perintah dari-Ku, sesungguhnya Aku Rabb Yang Mengutus" [Ad-Dukhan : 3-5]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Allah telah berfirman.
"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.
"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

Dia juga berfirman
"Artinya : Kalau Rabb-mu menghendaki maka Dia menjadikan umat manusia menjadi umat yang satu" [Hud : 118]

Dia juga berfirman.
"Artinya : Bila Dia (Allah) menghendaki maka Dia memusnahkanmu dan mengadakan penciptaan yang baru" [Fathir : 16]

Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-Nya terjadi karena kehendak-Nya. Begitu juga segala perbuatan makhluk terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidak terjadi saling bunuh di antara orang-orang setelah mereka datang penjelasan kepada mereka, akan tetapi mereka berselisih ; sebagian mereka beriman dan sebagian kafir. Dan apabila Allah menghendaki maka mereka tidak saling membunuh, akan tetapi Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki" [Al-Baqarah : 53]

Ini adalah nash (teks Al-Qur'an) yang sangat jelas bahwa semua perbuatan hamba telah dikehendaki Allah dan apabila Allah tidak menghendaki mereka untuk melakukannya maka mereka tidak akan melakukan.

[4] Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.
"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman : "Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat). Para ulama berselisih pendapat tentang kata "ma" (apa saja), apakah dia berupa "ma masdhariyah" (sehingga tidak bermakna) atau "ma maushulah" (sehingga bermakna apa saja). Berdasarkan dua perkiraan di atas ( ma mashdariyah atau ma maushulah), maka ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. inilah keempat tingkatan keimanan kepada Qadar yang harus diimani, tidak sempurna keimanan seseorang terhadap Qadar kecuali dengan mengimani keempat-empatnya.

Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.
"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya".

Kesmipulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.

Kemudian ketahuilah bahwa adanya kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit), yaitu pertanyaan seseorang : "Apabila perbuatanku dari Qadar Allah, maka bagaimana saya harus menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"
Jawabannya.

Hendaknya dikatakan kepadanya kamu tidak bisa beralasan malakukan ma'siyat dengan Qadar Allah, Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya (ma'siyah) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya .? Begitu juga dalam hal duniawi, kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap ada kebaikannya dan menghindari yang kamu anggap berbahaya. Maka mengapa kamu tidak bersikap demikian dalam urusan akhirat ? Saya tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menempuh jalan yang sulit lalu dia berkata : "Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan perkataan yang diarahkan kepadamu bahwa Jannah mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kamu menempuh jalan menuju Neraka, maka kamu bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan. Maka mengapa kamu merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka Jahim dan meninggalkan jalan menuju Jannah Na'im ? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat, maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul. Allah terlah berfirman.

"Artinya : Aku telah mengutus para rasul yang memberi berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak mempunyai alasan kepada Allah setelah para rasul" [An-Nisa' : 165]

Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya, karena apabila kamu beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika dalam kelapangan kamu akan bersyukur kepada Allah dan tidak membanggakan diri dan tidak melihat bahwa semua itu hasil kemampuan dan keutamaan, akan tetapi sebaliknya kamu meyakini bahwa ini hanya sebab dan bila kamu telah berhasil melaksanakan sebab yang menjadikan kamu mendapatkan kelapangan dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kamu akan bertambah syukur dan hal ini akan mendorong kamu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya, dan kamu tidak akan melihat kelebihan pada dirimu di atas Rabb-mu bahkan sebaliknya kamu melihat anugrah Allah kepadamu. Allah telah berfirman.

"Artinya : Mereka memberi anugrah keadamu dengan masuk Islam mereka, katakanlah : kamu tidak memberi anugerah kepadaku dengan masuk Islammu akan tetapi Allah-lah yang telah memberi anugrah kepadamu untuk menunjukkan kepadamu pada iman, bila kamu benar" [ Al-Hujurat : 17]

Begitu pula manakala kamu tertimpa kesusahan (musibah), maka kamu tetap percaya kepada Allah, menerima dan tidak terlalu menyesal karenanya bahkan tidak diliputi kegundahan (yang berat). Bukankah anda tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".

Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman.

"Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]

Orang yang tidak percaya kepada Qadar sudah pasti mengamali kegoncangan ketika tertimpa musibah dan akan bersedih dan syetanpun kana membuka pintu untuknya dan dia akan merasa terlalu bersuka ria dan terlena ketika mendapat kegembiraan. Akan tetapi iman kepada Qadar akan mampu mencegah itu semua.
SEGALA SESUATU TELAH DITENTUKAN DAN MANUSIA DIBERI PILIHAN
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang Qadar ; apakah pokok perbuatan telah di takdirkan, sementara manusia diberi kebebasan memilih (punya kebebasan) cara pelaksanaannya ? Sebagai contoh apabila Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya untuk memilih cara membangun. Begitu juga, apabila Allah telah mentakdirkan kema'syiatan, maka manusia sudah barang tentu melakukannya, akan tetapi Dia membiarkan akalnya untuk memilih cara melaksanakannya. Ringkasnya manusia itu diberi kebebasan memilih cara melaksanakan sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya. Apakah itu benar ?"
Jawaban

Masalah ini (Qadar) memang menjadi pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dua kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.
Kelompok Pertama.

Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia buta tentang kebebasan memilih hamba. Dia mengatakan : "Sesungguhnya dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan tidak mempunyai kebebasan memilih jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap bersama angin dan sebagainya sama dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kelompok Kedua.

Memandang bahwa seorang hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan pilihannya sendiri, sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang hamba bebas memilih semua perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar Allah.
Kelompok Penengah.

Maka mereka melihat dua sebab. Mereka memandang pada keumuman Qadar Allah dan sekaligus kebebasan memilih hamba-Nya. Maka mereka mengatakan : "Sesungguhnya perbuatan hamba terjadi karena Qadar Allah dan dengan pilihan hamba itu sendiri. Dia tentu tahu perbedaan antara jatuhnya seseorang dari atap karena angin dan semisalnya dengan turun melalui tangga atas pilihannya sendiri. Yang pertama adalah orang yang melakukannya diluar pilihannya dan yang kedua dengan pilihannya sendiri. Masing-masing dari keduanya terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah yang tidak akan terjadi dalam kerajaan-Nya apa yang tidak Dia kehendaki, akan tetapi sesuatu yang terjadi dengan pilihan seorang berhubungan dengan taklif (pembebanan/hukum) dan dia tidak punya alasan Qadar dalam melanggar apa yang telah dibebankan kepadanya, baik berupa perintah maupun larangan. Karena dia melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum Allah) dan ketika melakukannya dia belum tahu apa yang ditakdirkan kepadanya. Maka perlakuan tersebut menjadi sebab siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, ketika dia dipaksa oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum Allah), maka tidak ada hukum dan siksaan atas perbuatan tersebut karena keterpaksaannya, Apabila manusia mengetahui bahwa melarikan diri dari api ke tempat yang lebih aman adalah pilihannya sendiri dan bahwa kedatangan ke rumah bagus, luas dan layak tinggal juga merupakan pilihannya, di sisi lain dia juga meyakini bahwa melarikan diri dan kedatangan tersebut terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah. Sedangkan tetap tinggal (di rumah tersebut) sehingga ditelan api dan ketelatannya untuk menempati rumah dapat dikatakan menyia-nyiakan kesempatan yang berakibat penyesalan. Maka kenapa dia tidak memahami ini dalam hal kecerobohannya dengan meninggalkan sebab-sebab yang bisa menyelamatkan dirinya dari neraka akhirat dan menggiringnya untuk masuk jannah.?

Adapun gambaran bahwa ketika Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia pasti akan membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya dalam menentukan cara membangun, adalah gambaran yang kurang tepat. Karena gambaran tersebut mengindikasikan bahwa cara membangun adalah kebebasan akal dan tidak terkait dengan Qadar Allah di dalamnya dan sumber pikiran (untuk membangun) semata-mata karena kekuasaan Qadar dan tidak ada kaitannya pilihan (hamba) di dalamnya. Hal yang benar adalah sumber pikiran membangun merupakan bagian dari pilihan manusia karena dia tidak dipaksakan, sebagaimana dia tidak dipaksa untuk merenovasi rumahnya atau membongkarnya, Akan tetapi munculnya pikiran tersebut, sebenarnya telah ditakdirkan oleh Allah tanpa ia sadari, karena dia belum tahu bahwa Allah telah mentakdirkan apapun kecuali setelah terjadinya, karena Qadar itu rahasia dan tertutup yang tak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Allah dalam bentuk wahyu atau kejadian nyata. Begitu juga cara membangun tetap dalam Qadar Allah, karena Allah telah menetapkan segala sesuatu, baik secara global maupun rinci dan tidak mungkin menusia bisa memilih sesuatu yang tidak dikehendaki dan ditetapkan Allah, akan tetapi bila seseorang memilih sesuatu dan melakukannnya maka dia baru tahu dengan yakin bahwa hal tersebut telah ditetapkan Allah. Dengan demikian, manusia diberi kebebasan memilih berbagai sebab nyata yang telah ditetapkan Allah sebagai sebab terjadinya perbuatan dan ketika melakukannya manusia tidak merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi, bila dia telah melakukan perbuatan tersebut berdasarkan sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai sebab, maka kita baru tahu dengan yakin bahwa Allah telah menetapkannya (mentadkdirkan), baik secara global maupun rinci.

Demikian juga, kami bisa berbicara tentang perbuatan ma'siyat manusia, dimana kamu mengatakan : "Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kepadanya perbuatan ma'siyat, sehingga dia pasti melakukannya. Akan tetapi Dia (Allah) membiarkan (menyerahkan) kepada akalnya tentang cara pelaksanaannya".

Maka dalam hal ini, kami katakan sebagaimana yang telah kami sampaiakan dalam hal pembangunan masjid di atas ; Sesungguhnya Qadar Allah kepadanya untuk melakukan ma'siyat tidak berarti menghilangkan kebebasan (memilih)nya. Karena ketika dia memilih perbuatan tersebut (ma'siyat) dia belum tahu apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, lalu dia melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan pilihannya dan tidak merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi ketika dia telah melakukannya, maka kita baru mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. begitu juga, cara pelaksanaan mas'iyat dan proses menuju ke sana yang terjadi dengan pilihan manusia tidak berarti menghilangkan Qadar Allah. Karena Allah telah mentakdirkan segala sesuatu, baik secara global maupun rinci dan telah menetapkan sebab-sebab menuju ke sana dan seluruh perbuatan-Nya tidak terlepas dari Qadar-Nya dan begitu juga perbuatan hamba-Nya, baik yang bersifat ikhtiyari (sesuai pilihan) maupun idhthirari (terpaksa), Allah berfirman.
"Artinya : Apakah kamu belum tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, sesungguhnya hal itu telah ada dalam Kitab, sesungguhnya itu bagi Allah sangat mudah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman.
"Artinya : Begitu juga Aku telah menjadikan bagi setiap nabi musuh yang berupa syetan-syetan dari bangsa Manusia dan Jin yang sebagian menyampaikan kepada sebagian lain ucapan palsu. Dan apabila Rabb-mu menghendaki, maka mereka tidak melakukannya (kebohongan). Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongannya" [Al-An'am : 12]

Allah juga berfirman.
"Artinya : Begitu juga Allah telah menghiasi kebanyakan orang-orang musyrik dengan pembunuhan anak-anak mereka kepada teman-teman mereka untuk menarik mereka dan meremangkan agama mereka. Apabila Allah menghendaki, maka mereka tidak melakukannya. Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongan mereka" [Al-An'am : 137]

Dia juga berfirman.
"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidaklah saling membunuh orang-orang setelah mereka setelah datang penjelasan kepada mereka. Akan tetapi mereka saling berselisih, sehingga sebagian mereka ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak saling membunuh" [Al-Baqarah : 253]

Setelah itu, maka sebaiknya seseorang tidak membicarakan dengan diri sendiri atau dengan orang lain tentang persoalan seperti ini yang akan berakibat gangguan dan menimbulkan prasangka adanya pertentangan antara Syari'ah dengan Qadar. Karena hal itu bukanlah merupakan kebiasaan sahabat, padahal mereka orang yang paling semangat untuk mengetahui berbagai kebenaran dan lebih dekat dengan nara sumber dan pemecahan kesedihan. Disebutkan dalam Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tak seorangpun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga atau tempatnya di neraka" Kemudian (sahabat) bertanya : "Ya Rasulullah, apakah kita tidak menyerah saja" (Dalam suatu riwayat disebutkan :'Apakah kita tidak menyerah saja pada catatan kita dan meninggalkan amal). Beliau menjawab : "Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)". (Dalam suatu riwayat disebutkan : "Beramallah, karena setiap orang dipermudah menuju sesuatu yang telah diciptakan untuknya"). Orang yang termasuk ahli kebahagian, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli kebahagiaan. Adapun orang yang termasuk ahli celaka, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli celaka". Kemudian beliau membaca ayat : "Adapun orang yang memberi dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kemudahan. Adapun orang yang bakhil dan menumpuk kekayaan dan mebohongkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kesulitan".

Dari hadits di atas, jelaslah bahwa Nabi melarang sikap menyerah pada catatan (takdir) dan meninggalkan beramal, karena tak ada peluang untuk mengetahuinya dan beliau menyuruh hamba untuk berbuat semampu mungkin, yang berupa amal. Beliau mengambil dalil dengan ayat yang menunjukkan bahwa orang yang beramal shalih dan beriman, amal dia akan dipermudah menuju kemudahan. Ini merupakan obat yang berharga dan mujarab, di mana seorang hamba akan mendapatkan puncak kesejahteraan dan kebahagiaannya dengan mendorong untuk beramal shalih yang dibangun di atas landasan iman dan dia akan bergembira dengannya karena ia akan didekatkan dengan taufiq menuju kemudahan di dunia dan akhirat.

Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada kita semua untuk melakukan amal shalih dan mempermudah kita menuju kemudahan dan menajauhkan kita dari kesulitan dan mengampuni dia akhirat dan dunia. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
APAKAH MANUSIA DIBERI KEBEBASAN MEMILIH?
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah manusia dibebaskan memilih atau dijalankan?".
Jawaban.

Penanya seharusnya bertanya pada diri sendiri ; Apakah dia merasa dipaksa oleh seseorang untuk menanyakan pertanyaan ini, apakah dia memilih jenis mobil yang dia inginkan ? dan berbagai pertanyaan semisalnya. Maka akan tampak jelas baginya jawaban tentang apakah dia dijalankan atau dibebaskan memilih.

Kemudian hendaknya dia bertanya kepada diri sendiri ; Apakah dia tertimpa musibah atas dasar pilihannya sendiri ? Apakah dia tertimpa penyakit atas dasar pilihannya ? Apakah dia mati atas dasar pilihannya sendiri ? dan berbagai pertanyaan semisalnya. Maka akan jelas baginya jawaban tentang apakah dia dijalankan atau dibebaskan memilih.
Jawabnya.

Sesungguhnya segala perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat jelas dia lakukan atas dasar pilihannya. Simaklah firman Allah.
"Artinya : Maka barangsiapa menghendaki, maka dia mengambil jalan menuju Rabb-Nya" [An-Naba : 39]

Dan firman Allah.
"Artinya : Sebagian dari kamu ada orang yang menghendaki dunia dan sebagian dari kamu ada orang yang menghendaki akhirat" [Ali-Imran : 152]

Dan firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa menghendaki akhirat dan menempuh jalan kepadanya dan dia beriman, maka semua perbuatannya disyukuri (diterima)". [Al-Isra' : 19]

Dan firman-Nya.
"Artinya : Maka dia diwajibkan membayar fidyah, berupa puasa atau sedekah atau hajji" [Al-Baqarah : 196]

Di mana dalam ayat fidyah di atas, pembayar fidyah diberi kebebasan memilih apa yang akan dibayarkan.

Akan tetapi, apabila seseorang menghendaki sesuatu dan telah melaksanakannya, maka kita tahu bahwa Allah telah menghendaki hal itu, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Sungguh barangsiapa dari kamu menghendaki beristiqomah, maka kamu tidak akan berkehendak kecuali Allah Rabb sekalian alam menghendakinya" [At-Takwir : 29]

Maka sebagai kesempurnaan rububiyah-Nya, tidak ada sesuatupun terjadi di langit dan di bumi melainkan karena kehendak Allah Ta'ala.

Adapun segala sesuatu yang menimpa seseorang atau datang darinya dengan tanpa pilihannya, seperti sakit, mati dan berbagai bencana, maka semua itu murni karena Qadar Allah dan manusia tidak punya kebebasan memilih dan berkehendak.

Semoga Allah memberi Taufiq.
HUKUM RIDHA' TERHADAP QADAR
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum ridha (rela) kepada Qadar? dan apakah do'a itu bisa menolak Qadha?
Jawaban.

Ridha pada Qadar hukumnya wajib, karena ha itu termasuk kesempurnaan ridha akan rububiyah Allah. Maka setiap mu'min harus ridha pada Qadha' Allah. Akan tetapi Muqadha (sesuatu yang diqadha') masih perlu dirinci, karena sesuatu yang diqadha berbeda dengan Qadha itu sendiri. Qadha adalah perbuatan Allah, sedangkan sesuatu yang diqadha' adalah sesuatu yang dikenai Qadha'. Maka Qadha' yang merupakan perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh membencinya selamanya.

Adapun sesuatu yang diqadha' terbagi menjadi tiga macam.
Wajib direlakan
Haram direlakan.
Disunnahkan untuk direlakan

Sebagai contoh, perbuatan ma'siyat adalah sesuatu yang diqadha oleh Allah dan ridha pada kemasyiatan hukumnya haram, sekalipun dia terjadi atas Qadha Allah. Maka barangsiapa melihat pada kema'siyatan, maka dia harus rela dari sisi Qadha' yang telah lakukan Allah dan harus mengatakan bahwa Allah Maha Bijaksana dan kalau kebijakan-Nya tidak menentukan ini, maka dia tidak akan pernah terjadi. Adapun dari sisi sesuatu yang diqadha', maka perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib menghilangkan kema'siyatan tersebut dari dirimu sendiri dan orang lain.

Sebagian dari sesuatu yang diqadha' harus direlakan, seperti kewajiban syar'iyah, karena Allah telah menentukannya secara riil dalam syar'iyah. Maka kita harus merelakannya, baik dari sisi Qadha'nya maupun sesuatu yang diqadha'.

Bagian ketiga disunnahkan untuk merelakannya dan diwajbkan bersabar karenanya, yaitu berbagai musibah yang terjadi, Maka semua musibah yang terjadi, menurut para ulama, disunnahkan untuk merelakan dan tidak diwajibkan. Akan tetapi wajib bersabar karenanya. Perbedaan antara sabar dan rela adalah bahwa dalam sabar seseorang tidak menginginkan apa yang terjadi, akan tetapi dia tidak mencoba sesuatu yang menyalahi syara' dan menghilangkan kesabaran, sedangkan rela adalah seseorang tidak membenci apa yang terjadi, sehingga terjadinya atau tidak terjadinya baginya sama saja. Inilah perbedaan antara rela dengan sabar. Oleh karena itu, para ulama Jumhur mengatakan : "Sesungguhnya sabar itu wajib, sedangkan rela itu disunnahkan".

Adapun pertanyaan : "Apakah do'a itu dapat menolak Qadha", maka jawabnya demikian :

Sebenarnya do'a merupakan sebab teraihnya sesuatu yang dicari dan dalam kenyataannya, do'a dapat menolak Qadha dan tidak dapat menolaknya sekaligus. Artinya terdapat dua sisi pandang dalam do'a. Sebagai contoh orang sakit terkadang berdo'a kepada Allah (untuk disembuhkan), kemudian sembuh. Maka dalam hal ini, seandainya ia tidak berdo'a, maka dia akan tetap sakit, akan tetapi dengan do'a tersebut dia menjadi sembuh. Hanya saja kita dapat mengatakan bahwa Allah telah menetapkan, sembuhnya penyakit tersebut dengan lantaran do'a dan ini telah tertulis/tersurat. Maka do'a tersebut secara lahir dapat menolak Qadar, di mana manusia meyakini bahwa kalau tidak ada do'a tersebut, maka penyakit tersebut akan tetap diderita. Akan tetapi, hakikatnya, do'a tersebut tidak menolak Qadha', karena pada dasarnya do'a tersebut juga telah tertulis (ditakdirkan) dan kesembuhan tersebut akan terjadi dengannya. Inilah Qadar yang sebenarnya telah tertulis di zaman azali. Demikianlah, sehingga segala sesuatu pasti melalui sebab dan sebab tersebut telah dijadikan Allah sebagai sebab teraihnya dan sesuatu itu semua telah tertulis sejak zaman azali sebelum terjadi.
APAKAH DO'A BISA MENGUBAH KETENTUAN?
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah do'a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk manusia sebelum kejadian?"
Jawaban.

Tidak diragukan lagi bahwa do'a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda berdo'a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do'a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do'a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do'a tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.

Dengan demikian, do'a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran do'a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.
BAGAIMANA ALLAH MENYIKSA MANUSIA SEDANG ITU SUDAH DITENTUKAN ALLAH
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Ada polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu bagaimana Allah akan menyiksa karena ma'siyat, padahal telah Dia takdirkan hal itu atas manusia ?"
Jawaban.

Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri. Allah telah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur" [Al-Insan : 3]

Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).

Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : "Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara' dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.

Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman.
"Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok" [Luqman : 34]

Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama' mengatakan : "Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup". Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi. Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita.

Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu'minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : "Tunggu dulu hai Amirul Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah". Umar mengatakan : "Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah". Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.

Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma'siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas. Allah berfirman.

"Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" [An-Nisa : 165]

Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.

Semoga Allah memberi Taufiq.
APAKAH REZKI DAN JODOH TELAH DI TULIS DI LAUH MAHFUDZ
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah rezqi dan jodoh juga telah tertulis di Lauh Mahfudz ?".
Jawaban.

Segala sesuatu sejak awal terciptanya Qalam sampai tiba hari Qiyamat telah tertulis di Lauh Mahfudz, karena sejak permulaan menciptakan Qalam Allah telah berfirman kepadanya : "Tulislah", Dia (Qalam) bertanya : "Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?" Allah berfirman : "Tulislah segala sesuatu yang terjadi". Kemudian dia (Qalam) menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat. Juga diriwayatkan dari Nabi :
"Artinya : Sesungguhnya janin yang ada dalam kandungan ibunya ketika telah melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus Malaikat kepadanya yang meniupkan roh dan menulis rizqi, ajal, amal dan apakah dia celaka atau bahagia".

Rezqi juga telah tertulis dan ditakdirkan beserta sebab-sebabnya, tidak bertambah dan tidak berkurang. Sebagian dari sebab-sebab (rezqi) adalah pekerjaan manusia untuk mencari rezqi, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Dia (Allah) adalah Tuhan yang telah menjadikan bumi tunduk (kepadamu), maka berjalanlah dia atas pundaknya dan makanlah sebagian rezqi-Nya dan kepada-nyalah tempat kembali" [Al-Maidah : 15]

Sebagian dari sebab-sebab rezqi lagi adalah menyambung persaudaraan (sillaturrahim), termasuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan menyambung hubungan keluarga, karena Nabi telah bersabda.
"Artinya : Barangsiapa ingin dilapangkan rezqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung persaudaraan (sillaturrahim).

Sebagian sebab-sebab rezqi lagi adalah bertaqwa kepada Allah, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa bertaqwa, maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezqi dengan tanpa disangka-sangka" [Ath-Thalaq : 2-3]

Janganlah anda mengatakan : "rezqi telah tertulis dan terbatasi dan aku tidak akan melakukan sebab-sebab untuk mencapainya". Karena pernyataan tersebut adalah suatu kelemahan. Sedangkan yang disebut kepandaian adalah kamu tetap berupaya mencari rezqi dan sesuatu yang bermanfaat bagimu, baik untuk agamamu maupun untuk duniamu. Nabi bersabda.

"Artinya : Seorang yang pandai adalah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang hanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan"

Sebagaiamana rezqi telah tertulis dan ditaqdirkan bersama sebab-sebabnya, maka jodoh juga telah tertulis (beserta sebab-sebabnya). Masing-masing dari suami istri telah tertulis untuk menjadi jodoh bagi yang lain. Bagi Allah tidak rahasia lagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di langit.
JIKA PERBUATAN ORANG KAFIR TELAH DITULIS MENGAPA DIA DISIKSA ?
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di Lauh Mahfudz ? Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"
Jawaban.

Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia telah tertulis sejak dia berada di perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu ia berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang benar lagi dibenarkan) bercerita kepada kami.
"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah kepadanya seorang malaikat, dan diperintahkan dengan empat kalimat untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka atau bahagia".

Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah 'Azza wa Jalla sejak zaman azali dan orang yang berbahagia telah diketahui pula oleh Allah sejak zaman azali. Akan tetapi barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan diadzab padahal Allah telah menetapkan atas mereka akan hal itu sejak zaman azali.?
Jawaban kami.

Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka, jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul telah diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah dijelaskan petunjuk dan kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak ; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena itu kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain mereka, berusaha meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih sesuatu yang membahayakan di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang akan berusaha meraih manfaat bagi dirinya. Dengan demikian, seharusnya mereka berusaha meraih manfaat dalam urusan-urusan agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, bahkan penjelasan tentang kebaikan dan keburukan dalam urusan agama di dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul lebih banyak dan lebih besar daripada penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban mereka adalah menempuh jalan yang menghatarkannya kepada keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh jalan yang menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.

Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran sama sekali tidak merasa ada orang yang memaksanya. Bahkan perasaannya mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu dengan kehendak dan ikhtiarnya. Maka apakah ketika memilih kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya .? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak mengetahui bahwa sesuatu telah ditetapkan terjadi pada kita kecuali sesudah terjadi. Adapun sebelum terjadi, kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita karena hal ini termasuk perkara ghaib.

Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu : sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan anda ada dua perkara ; hidayah dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah dengan anggapan bahwa Allah telah menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah menetapkannya ? Kami tegaskan kepada anda sebelum memasuki jalan ini ; apakah anda mempunyai pengetahuan bahwa hal ini telah ditetapkan kepadamu ? ia pasti menjawab : "Tidak". Dan mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia mengatakan : "Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah seraya menganggap bahwa Allah telah menetapkan hal itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka" [Ash-Shaf : 5]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar" [Al-Lail :5-10]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu para sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah dicatat tempat duduknya di jannah dan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya ; wahai Rasulullah, apakah kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang telah ditetapkan ? Beliau bersabda.
"Artinya : Tidak, beramallah kelian, karena tiap-tiap orang dimudahkan kepada sesuatu yang diciptakan baginya"

Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar".

Inilah jawaban kami atas pertanyaan yang disampaikan oleh penanya tadi, dan betapa banyaknya orang yang beralasan seperti tadi dari kalangan orang-orang yang sesat. Alangkah anehnya mereka karena mereka sama sekali tidak pernah beralasan dengan yang semisal ini dalam masalah-masalah dunia. Bahkan anda mendapati mereka menempuh sesuatu yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam persoalan-persoalan duniawi. Manakala dikatakan kepada seseorang ; jalan yang ada dihadapanmu ini adalah jalan yang sulit lagi rumit, di sana ada para pencuri dan banyak binatang buas, sedangkan ini jalan kedua, jalan yang mudah, ringan dan aman, tidak mungkin seseorang menempuh jalan yang pertama dan meninggalkan jalan yang kedua. Demikian pula dengan dua jalan ; jalan neraka dan jalan jannah. Para rasul menjelaskan jalan ke jannah lalu mereka mengatakan : inilah jalan ke jannah. Mereka juga mejelaskan jalan ke neraka lalu menegaskan : inilah jalan menuju neraka. Mereka memperingatkan dari jalan yang kedua dan menganjurkan untuk menempuh jalan pertama. Sementara para pendurhaka beralasan dengan qadha Allah dan Qadar-Nya -padahal mereka tidak mengetahuinya- atas kemaksiatan dan kejahatan yang mereka lakukan dengan ikhtiarnya dan dalam hal ini mereka tidak memiliki hujjah di sisi Allah Ta'ala.
SESUNGGUHNYA MANUSIA BERAMAL DENGAN AMALAN JANNAH
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : " Tentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Sesungguhnya seseorang selalu beramal dengan amalan ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan jannah kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya sehingga ia melakukan amalan ahli neraka, lalu iapun memasukinya. Dan seorang yang senantiasa beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalan ahli jannah dan iapun memasukinya".
Apakah hadits ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang membaguskan amalannya" [Al-Kahfi : 30]
Jawaban.

-Semoga Allah merahmatinya- dengan ucapannya : Ini adalah hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Di dalamnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan jannah kecuali hanya sehasta, karena dekatnya ajal dan kematian dirinya. Namun ketetapan telah mendahuluinya yang menegaskan bahwa ia termasuk penghuni neraka, hingga iapun melakukan amalan ahli neraka, lalu masuk kedalamnya- kita berlindung kepada Allah daripadanya. Ini adalah fenomena yang nampak pada manusia seperti yang dijelaskan oleh sebuah hadits shahih.
"Artinya : Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan ahli jannah dalam pandangan manusia, padahal ia termasuk ahli neraka"

Demikian pula persoalan kedua, manusia yang beramal dengan amalan ahli neraka, lalu Allah memberi karunia kepadanya dengan taubat dan kembali kepada jalan Allah menjelang ajalnya, hingga iapun beramal dengan amalan ahli jannah lalu ia masuk kedalamnya.

Ayat yang disebutkan oleh penanya tidak bertentangan dengan hadits di atas, karena Allah Ta'ala berfirman : "Pahala orang yang membaguskan amalannya" Maksudnya, barangsiapa yang membaguskan amalannya di dalam hati maupun dhahirnya, maka Allah Ta'ala tidak menyia-nyiakan pahalanya. Tetapi yang dimaksud oleh kasus pertama yang beramal dengan amalan ahli jannah lalu ketetapan telah mendahuluinya, adalah orang yang beramal dengan amalan ahli jannah dalam pandangan manusia saja. Atas dasar ini, amalannya tidak termasuk kebaikan. Dengan demikian hadits tadi tidak bertentangan sama sekali dengan ayat Al-Qur'an.

Wallahul Muwafiq
CARA MENGKOMPROMIKAN FIRMAN ALLAH DALAM SURAT AL-AN'AM : 125
Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : " Tentang bagaimana mengkompromikan antara firman Allah Ta'ala : "Maka barangsiapa dikehendaki Allah untuk menunjukkannya, Dia akan melapangkan dadanya kepada Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk menyesatkannya, Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak, seolah-olah ia sedang naik ke langit" [Al-An'am : 125]
Dengan firman-Nya : "Maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir" [Al-Kahfi : 29]
Jawaban.

Mengkompromikan di antara kedua ayat itu adalah sebagai berikut ; Allah Ta'ala memberitahukan dalam sebagian ayat-Nya bahwa semua urusan ada dalam kekuasaan-Nya. Dan dalam sebagian ayat lainnya memberitahukan bahwa semua perkara itu kembali kepada mukallaf. Mengkompromikannya begini : setiap mukallaf memiliki kehendak, ikhtiar dan kemampuan. Sementara yang menciptakan kehendak, ikhtiar dan kemampuan tersebut adalah Allah Azza wa Jalla. Maka tidak mungkin seorang makhluk memiliki kehendak kecuali dengan kehendak Allah.

Allah Ta'ala berfirman tentang penjelasan kompromi ini.
"Artinya : Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam" [At-Takwir : 28-29]

Akan tetapi kapan Allah berkehendak untuk menunjuki manusia atau menyesatkannya ? Inilah yang dimaksud oleh firmannya.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar" [Al-Lail : 5-10]

Dan baca firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling, Allah palingkan hati mereka dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasik" [Ash-Shaf : 5]

Anda mendapati bahwa sebab sesatnya seorang hamba adalah karena dirinya sendiri. Dan Allah Ta'ala ketika itu menciptakan kehendak pada dirinya untuk berbuat buruk karena ia menghendaki keburukan. Adapun orang yang menghendaki kebaikan lalu berusaha dan berkeinginan kuat memperolehnya, maka Allah akan memudahkannya kepada kebaikan. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita kepada sahabat-sahabatnya bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya : Apakah tidak sebaiknya kami menyerah kapada ketetapan itu dan kami tidak beramal ? Nabi menjawab : Jangan. Beramallah kalian, karena tiap-tiap orang dimudahkan sesuai penciptaannya. Nabipun lalu membaca ayat ini : "Dan adapun orang yang memberi dan bertakwa ..dst".

Ketahuilah wahai saudaraku, tidak mungkin terdapat pertentangan dalam kalamullah atau dalam hadits shahih selamanya. Maka apabila anda mendapati dua nash yang dhahirnya tampak bertentangan, perhatikanlah kembali. Niscaya perkaranya mejadi jelas bagi anda. Jika anda tidak mengetahuinya, anda wajib bertawaquf dan menyerahkan perkara itu kepada ahlinya. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.