Rabu, 25 Maret 2009

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan

Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan
barangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalam
bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan
dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka,
tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenangan
yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.
Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa
keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di
waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkan
corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan
beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka kekhasan
bangsa kita dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa
Ramadhan telah pula menjadi perhatian orang Muslim Arab di
akhir abad yang lalu. Seorang sarjana bernama Riyadl
menyebutkan bahwa di Jawa (yang dicampuradukkan olehnya
sebagai bagian dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara
yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa. Mereka
itu, kata Prof. Riyadl.

pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari
untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian
melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan
membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz'
sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada
suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa
mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang
menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi
terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang
buncis. [1]

Dari penuturan sederhana itu maka tidak terlalu salah jika
kita kaum Muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khas
tentang bulan Ramadhan, agaknya lebih dari kaum Muslim di
negeri-negeri lain. Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan
dengan intensitas yang tinggi, yang bakal meninggalkan kesan
mendalam pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan
pada bangsa kita tercermin juga dalam suasana Hari Raya
Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu
akan baik sekali jika kita memahami berbagai hikmah ibadah
puasa yang kita jalankan selama bulan itu.

PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT

Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah yang khas ini, ada
baiknya kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,
guna memperoleh sedikit bahan perbandingan tentang bagaimana
puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.

Firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum beriman
menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupa
atas manusia sebelum mereka: "Wahai sekalian orang yang
beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamu
bertaqwa." [2] Ini menunjukkan adanya ibadat puasa pada
umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.

Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadat
yang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar di
kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat
berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu
berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari
pemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan
diri dari bekerja, malah dari berbicara. Puasa berupa
penahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'an
pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih.
Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan
seorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk
melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun
juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:

... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam),
serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau
melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya
aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm)
kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak
akan berbicara kepada siapapun jua. [3]

Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmani
dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya,
khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran
jasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapat
beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri dari
makan dan minum itu secara mutlak (artinya, semua bentuk
makanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali), sejak dari
fajar sampai terbenam matahari. Tetapi ada umat lain yang
berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau
minuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) dan
para pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompok
keagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan
Persia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan
menghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu. Demikian
pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timur
di Asia Barat dan Mesir.

Dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalan
berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian
siang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus.
Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari.
Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa
perlu meneranghan hikmah puasa siang hari saja seperti yang
dijalankan oleh kaum Muslim. Maka al-Jurjawi, misalnya,
memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utama
daripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkan
dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist Nabi, bahwa "Ibadat
yang paling utama ialah yang paling mengigit (ahmaz yakni,
paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yang
paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu
latihan keruhanian, sehingga semakin berat semakin baik dan
utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orang
yang melakukannya.

Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan oleh
al-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen,
namun kemudian mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup
kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkali
untuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabia
karena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat.
Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak
dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya
suku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkan
dalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umat
sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah
tersebut di atas, sebagaimana juga jelas bahwa Islam
mengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapa
amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkan
dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]

Berdasarkan itu semua dapat dikatakan bahwa puasa merupakan
salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan
atau kontinuitas agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi
salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan
kepada umat-umat sebelumnya. Segi kesinambungan atau
kontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan
hal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci,
yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad saw ialah
tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan
Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:

Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan)
kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan
kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang
telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub,
Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah
Kami berikan Kitab Zabur.

Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka
itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul
yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan
sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.

Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman,
agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah
sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha
Bijaksana.

Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada
engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu
pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan
(sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]

PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI

Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalam
bentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)
adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah
untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala." [7]
Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan
bahwa puasa itu

... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari
amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak
melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan
syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya
(Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan
segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih
mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu
rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang
lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat
melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala
sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya
demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang
tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat
puasa.[8]

Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang
pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan
letak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan
itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu
sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan.
Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah
dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh
seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan
adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak
tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap
segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan
nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamu
dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala
sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah
Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia,
dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." [11]
"Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antara
seseorang dan hatinya sendiri..." [12]

Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam
(Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn
Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupa
juga dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh
pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam uraiannya
tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:

Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i
(manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat
(amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak,
padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba
dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari
syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik
itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah
Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.
Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam
kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -
(publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan
Yang Maha Agung itu untuk melanggar
larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman,
dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia
merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia
mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.
Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka,
dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak
menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut
kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar